Featured Posts Coolbthemes

Sponsort

Adsense Two [468 x 60]

Kisah Cinta dalam Perang Sabil Aceh

Ahad, 30 Disember 2012

(Diangkat dari Peristiwa Perang Aceh, “Tak Ingin Bidadari...”) *Oleh Sayf Muhammad Isa (* Akan kuceritakan kepadamu sebuah riwayat penuh pesona, tentang cinta. Ketika itu Pelabuhan Ulee Lheu bersemu emas senja. Matahari dihisap lautan dan kian menghilang. Pelabuhan yang ramai di Banda Aceh itu mulai ditinggalkan orang-orang yang kelelahan bekerja seharian. Semenjak zaman Sultan Iskandar Muda pelabuhan itu sudah menjadi tempat berniaga orang-orang dari banyak negara. Hingga hari itu, di abad ke-19, saat bencana terus merayap, perlahan tapi pasti, hendak menghancurleburkan tanah Aceh. Di Pantai Ceureumen, tak jauh dari pelabuhan, duduklah dua orang pemuda yang bernama Syarif dan Husin. Sore itu keringat bercucuran di sekujur tubuh mereka sebagaimana biasa, sebab mereka adalah kuli di pelabuhan yang ramai itu. Butiran pasir pantai mengusap-usap hidup mereka yang getir. Mereka miskin, yatim piatu, sebatang kara, namun itu semua tak kuasa mengusir senyum dari wajah mereka, dan hidup mengalir dengan kesyukuran untuk semua yang telah dianugerahkan Tuhan. Angin membelai wajah mereka yang masih muda, yang teguh tegar dipukul nasib. Dan melepas penat dalam senja di Pantai Ceureumen menjadi kekayaan teragung bagi mereka, yang lebih berharga dari harta sepenuh dunia. “Lihatlah itu, Husin,” telunjuk Syarif teracung, menunjuk kepada sesuatu di tengah lautan.“Kapal-kapal Belanda itu sudah tiga hari mengapung di situ. Tak bergerak sama sekali. Apa yang sebenarnya mereka mau?” “Memang agak aneh juga,” sahut Husin. Matanya menatap kepada bendera tiga warna Belanda yang berkibar di tiang kapal itu. “Tapi biarkan sajalah, yang penting mereka tidak mengganggu kita.” “Dari kabar-kabar yang kudengar ada utusan Belanda yang menghadap Sultan. Hendak membuat perjanjian.” “Aku rasa tentang persoalan perbatasan dengan wilayah-wilayah di selatan yang kabarnya sudah banyak yang berada di bawah penguasaan Belanda.” “Mereka seenaknya saja mencaplok wilayah-wilayah Aceh.” “Semoga semuanya baik-baik saja,” Husin menatap wajah sahabatnya lalu tersenyum. “Bagaimana perasaanmu? Pernikahanmu tak lama lagi!” “Ah, tak tahulah, Husin,” sahut Syarif. Ia tersenyum tipis. Matanya tetap kepada kapal-kapal Belanda yang teguh itu. “Semua perasaan campur aduk menjadi satu.” “Tapi kau senang kaaan?” Husin tersenyum lebar, ia menyikut bahu Syarif. “Saking senangnya aku melihatmu bekerja keras seperti orang gila. Bisa-bisa remuk tangan dan kakimu itu memanggul peti-peti lada kalau tak beristirahat.” “Aku harus melakukan itu, aku ingin membahagiakan istriku kelak. Aku ingin mencukupinya.” Husin tersenyum bahagia, larut dalam kebahagiaan sahabatnya. “Selepas kau menikah nanti, aku akan pindah. Kau berbahagialah berdua dengan istrimu.” Syarif terkejut mendengar kata-kata sahabatnya, ia menatap heran kepada Husin. “Apa yang kau bilang itu? Kau saudaraku, kita tetap akan bersama apapun yang terjadi. Dengan aku menikah bukan berarti kau harus pergi.” “Aku hanya ingin kau bahagia,” Husin masih tersenyum, “Kau pasti ingin berdua saja dengan istrimu.” “Aku tak bahagia kalau kau pergi,” Syarif melotot kepada Husin. “Dan jangan pernah bicara begitu lagi.” Husin menunduk dan terus tersenyum. “Terima kasih banyak. Kau selalu menolongku semenjak kita bertemu tiga tahun yang lalu.” Dan angan-angannya mengembara saat Syarif menolongnya dari serangan seekor harimau yang berhasil melukai kakinya. Syarif merawatnya, dan sejak itu ia tinggal di gubug Syarif di kampung Lampadang [1]. Ketika itulah persahabatan mereka dimulai. “Aku ini sebatang kara. Tapi kemudian Allah memberiku saudara. Tak akan aku biarkan sesuatu yang buruk menimpa saudaraku itu. Kau telah menyelamatkan aku dari kesendirian. Terima kasih banyak.” “Hei, maukah kau menolongku sekali lagi?” Husin berseri-seri. Ia mencolek pinggang Syarif. “Apa?” “Carikanlah aku seorang istri. Aku juga ingin beristri sepertimu.” “Hahahaha… Tenang saja, nanti Jamilah akan mencarikannya untukmu.” *** Pada sore yang sama di sisi lain Pantai Ceureumen berdirilah seorang perempuan muda seorang diri. Jamilah, nama perempuan itu. Pandangan matanya melayang menatap teguh kapal-kapal Belanda di lautan. Angin halus menelisik kain kerudung lusuhnya yang rapuh diterjang nasib. Ia sendirian di dunia ini, tak punya siapa-siapa lagi. Untuk hidupnya ia menjual kayu bakar di Pelabuhan Ulee Lheu. Sebuah gubug peninggalan orang tuanya di Lampadang menjadi tempatnya bernaung. Ketika itu angan-angannya melambung ke angkasa, kepada cinta. Ia bersyukur kepada Tuhan sebab telah menganugerahinya jodoh seorang pemuda yang baik hati, giat bekerja, dan taat beragama. Dan ia sungguh-sungguh mencintai pemuda itu. Pemuda yang tak lama lagi akan menikahinya, Syarif. Malam merayap sudah. Mengambang memayungi tanah Aceh. Gelap hitam berbayang-bayang, namun indah rupawan. Dan kedamaian jadi udara yang dihirup semua orang. Malam itu agak berbeda. Para lelaki di Lampadang ramai berkumpul di sebuah lapangan di hadapan meunasah [2]. Tangan-tangan mereka menggenggam obor yang kobaran apinya meliuk-liuk gemulai. Malam itulah semua orang akan mengetahui apakah kedamaian masih akan bertahan di tanah Aceh. Teuku Nanta Seutia [3], uleebalang [4] Enam Mukim [5], berwajah muram saja malam itu. Ia duduk di punggung kudanya, menatap wajah-wajah keras rakyatnya yang menunggu. Sebab kabar yang dibawanya lebih hitam dari kematian. “Assalamu’alaikum,” ia memulai dalam suara gemetar, dan semua orang bergumam menjawabnya. “Aku menyerukan kepada saudara-saudara untuk mempersiapkan diri. Tadi pagi utusan Belanda datang menghadap Sultan, menyampaikan sepucuk surat, dan telah nyata di dalam surat itu, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Sebab Aceh tidak mau memenuhi apa yang mereka pinta.” Dengungan-dengungan tiba-tiba menyeruak dari kerumunan orang-orang Lampadang itu. Mereka tenggelam dalam keterkejutan yang mematikan. Jantung-jantung berdetak lebih cepat, napas naik ke tenggorokan. Mereka saling bicara satu sama lain tentang berita dari Teuku Nanta. Teuku Nanta mengangkat tangan kanannya penuh wibawa. Dalam sekejap keributan itu mereda, semua orang kembali memerhatikan Teuku Nanta. “Mengapa kita menolak? Sebab kaum penjajah hendak merampas Aceh. Hendak merampas negeri kita. Hendak merampas kemerdekaan kita. Hendak merampok harta benda tanah kita. Mereka hendak menjajah.” Teuku Nanta mencabut rencong [6] yang tersemat di perutnya. Ia mengacungkannya tinggi menusuk langit malam. “Allah dan RasulNya memerintahkan kita untuk melawan sekuat tenaga apabila kaum penjajah datang hendak merampas tanah kita. Mereka telah menyatakan perang, dan kewajiban kitalah untuk mengobarkan Perang Sabil [7] demi melawan mereka. Jangan ragu! Jangan takut! Bagi orang-orang yang ikhlas berjuang Allah akan menghadiahinya surga. Yang di muka pintunya berdiri bidadari-bidadari, mereka menunggu suami dari Perang Sabil.” “ALLAAAAAHU AKBAR,” Teuku Nanta memekik. Dan takbir berkumandang merobek malam. Berhamburan ia dari mulut orang-orang yang teguh yang detik itu juga telah menggadaikan nyawa mereka demi membela negeri, memenuhi amanah Tuhan mereka untuk melawan penjajah. “Pulanglah! Persiapkanlah diri dan senjata!. Besok subuh datanglah ke Pantai Ceureumen, sebab Belanda akan menyerbu dari sana. Sesungguhnya Allah bersama kita. ALLAAAAAHU AKBAR.” Dan gegap gempita memenuhi malam. Di tengah-tengah hiruk-pikuk dan kerumunan orang-orang Lampadang itu Syarif mengernyit menatap Teuku Nanta. Mulutnya tak mau berkata apa-apa. Husin hanya menekur saja. Mereka terkejut alang-kepalang, ternyata kapal-kapal Belanda yang mengapung di mulut Pantai Ceureumen membawa kabar perang. Tiba-tiba Syarif menepuk bahu Husin dan berbisik kepadanya. “Mari pergi.” Mereka berdua melangkah cepat, batang obor getir mereka genggam, nyala apinya menerangi langkah mereka. “Antarkan aku ke rumah Jamilah,” kata Syarif. Husin mengangguk tanpa bicara apa-apa, mereka terus melangkah, tergesa-gesa. Gubug itu berdiri rapuh. Sebatang obor menyala di ambang pintunya. Syarif dan Husin telah berdiri tegak di sana. “Assalamu’alaikum,” Syarif mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Ia mengulang salam dan mengetuk lagi, tetap tak ada jawaban. Ia mengucap salam yang ketiga, mengetuk makin keras, tapi tetap tak ada jawaban. “Kemana perginya Jamilah?” Husin hanya menggeleng. Tiba-tiba mereka mendengar suara salam di belakang mereka. Suara salam seorang perempuan. Mereka menoleh, dan berdirilah Jamilah di sana sambil menenteng obor. Garis wajahnya yang cantik menyiratkan kegalauan. Sorot mata indahnya mengandung kekhawatiran. “Jamilah, kemasi pakaianmu sekarang juga, kita pergi dari sini. Belanda telah menyatakan perang tadi pagi. Cepatlah, tak ada waktu lagi” Syarif tergesa-gesa. Kata-katanya berhamburan begitu saja dari mulutnya. Namun Jamilah diam saja, tak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. Matanya menatap getir kepada Syarif. Bibirnya gemetar menahan perasaan. Ia telah tahu apa yang terjadi, jauh sebelum Syarif mengatakannya. “Aku telah tahu, Cutbang [8],” suara Jamilah bergetar. “Cut Nyak Din [9] menceritakannya kepadaku.” Syarif makin tergesa-gesa. “Kalau kau telah tahu berarti kau telah berkemas! Kalau begitu cepatlah, kita berangkat sekarang juga.” Sorot mata Jamilah makin getir. Air mukanya keruh, menggambarkan berat beban yang ditanggung jiwanya. Ia menunduk, dadanya berguncang keras, hancur berantakan dihantam lara. Kelopak matanya sudah tak sanggup lagi membendung cairan hangat yang suci itu. Ia menangis, berlinanglah air matanya membasuh wajahnya. Alis Syarif mengerut, Husin diam saja. “Sabarlah, kita pergi dari sini, kemasi pakaianmu,” Syarif terus mendesak. “Cepatlah!” Jamilah mengangkat tangannya, menghapus air matanya. Ia menegakkan wajahnya, tersenyum kepada Syarif. Dan dalam kegelapan, dalam keremangan cahaya obor, terlihatlah betapa cantiknya Jamilah. Dan kecantikan itu baru pertama kali disaksikan Syarif. “Pulanglah, Cutbang,” kata Jamilah lirih. “Bersiaplah! Pergilah berperang!” Seribu pedang seakan-akan mencabik-cabik jantung Syarif ketika mendengar kata-kata Jamilah. Alisnya bertaut tak mengerti. “Apa yang kau bilang itu? Akan pecah perang di Aceh, kita harus pergi dari sini, secepatnya. Cepat kemasi pakaianmu.” “Tidak, Cutbang! Pulanglah! Kau harus berangkat berperang.” “Kenapa kau ini, Jamilah? Kita akan menikah tak lama lagi, kita harus pergi dari sini.” Air mata Jamilah berlinang lagi. Ia sesenggukan, kepalanya menggeleng perlahan. “Aku tahu itu! Tapi penjajah hendak merampas Aceh, kewajiban kitalah membelanya.” “Demi Allah aku mencintaimu, Jamilah. Aku ingin menikahimu, sebab itu kita harus pegi dari sini.” Dalam derai air mata itu terkembanglah senyum yang aneh di wajah Jamilah. “Aku pun mencintaimu, tapi aku tidak lebih berharga dari tanah Aceh. Belalah negeri ini, Cutbang, berperanglah. Jangan pikirkan lagi pernikahan kita, aku ikhlas. Dan aku akan bangga kepadamu, sebab aku telah mencintai laki-laki yang tepat.” “Mengapa begini kau bicara? Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya dirimu! Aku mohon pergilah bersamaku, Jamilah. Aku mencintaimu… aku tak punya siapa-siapa.” Air mata Syarif telah berderai. Kakinya lemas, ia jatuh berlutut, wajahnya menunduk kepada tanah. “Aku ingin bahagia… aku ingin bahagia bersamamu.” “Tak ada lagi tempat bagi kita kalau penjajah telah merampas tanah kita. Kita tak bisa pergi kemana-mana, sebab mereka telah menebarkan kezaliman. Walaupun kita menikah, tak akan ada lagi kebahagiaan bersama kita kalau penjajah telah tegak di halaman rumah kita. Karena aku mencintaimu, semua ini aku pinta darimu.” Saat kata-kata itu keluar dari mulut Jamilah air mata makin deras berderai di pipinya. Kakinya gemetar. Taufan badai berkecamuk di dalam hatinya tatkala keputusan untuk mengatakan itu diambilnya. Sebenarnya ia tak sanggup, tapi ia kuatkan hatinya sekuat-kuatnya. “Aku mencintaimu, karena itu berangkatlah berperang, Cutbang!” Syarif menangis terisak-isak, punggungnya berguncang. Ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Jamilah meniup obor di genggamannya. Ia berjalan gontai, hatinya remuk dihancurkan nerstapa. Ia melangkah masuk ke dalam gubugnya, menutup pintu, dan menguncinya. Di dalam ia menangis sejadi-jadinya. Husin yang diam saja dari tadi melangkah mendekati sahabatnya. Ia menggamit bahu Syarif dan membangunkannya. Mereka melangkah pulang. Sesampainya di gubug mereka bermenunglah mereka. Diam sejuta bahasa. Lewat tengah malam Husin angkat bicara. “Maafkan aku, Saudara,” kata Husin terbata-bata, “Aku akan berangkat berperang. Aku ingin beristri seorang bidadari.” Belum tuntas guncangan karena Jamilah di kepala Syarif, sekarang Husin malah menambah-nambahnya. Ia membelalak kepada Husin. “Sekarang kau pun bicara begini. Kau ingin meninggalkan aku? Kita pergi dari sini, jauh dari sini, agar Belanda jahanam itu tak bisa mengganggu kita.” “Aku pun berpikir begitu tadinya. Tapi sungguh aku bangga kepada Jamilah. Ia mengajarkan aku tentang cinta. Begitulah cinta, Syarif, cinta itu kebesaran jiwa. Kewajiban kita adalah saling mencintai, bukan saling memiliki. Setiap kita adalah milik Allah, kalau Allah ingin mengambilnya kembali kita hanya bisa ikhlas menerimanya. Sekarang Allah menguji kita dengan mendatangkan Belanda yang hendak menjajah tanah kita, apakah kita bisa melaksanakan perintahNya untuk membela Aceh?” “Ya Allah…ya Rabbi,” Syarif menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Ia terbenam di kursinya. “Mari kita berjuang bersama, Syarif,” Husin berdiri dan mendekati Syarif, ia penuh semangat. “Tidakkah kau menginginkan bidadari?” “Aku tak butuh bidadari,” sahut Syarif ketus. “Astagfirullahal’azim,” Husin menggeleng, “Sampai hati kau bicara begitu, Allah bisa murka kepadamu.” “Aku ingin hidup bahagia bersama Jamilah, apakah aku tak bisa mendapatkannya?” Nada suara Syarif mulai tinggi. “Apakah kau tidak memahaminya, Saudara?” Raut wajah Husin berubah getir. Ia tak menyangka apa yang terjadi pada sahabatnya. “Sebenarnya Tuhan ingin menganugerahi kebahagiaan yang lebih besar untukmu. Dan Jamilah tahu itu, karenanyalah dia meminta semua itu kepadamu.” Husin melangkah ke kamar, mengambil pedang, lalu berdiri dengan gagah di hadapan sahabatnya. “Aku bangga mengenalmu, dan menjadi saudaramu. Pikirkanlah semua yang telah terjadi, semoga Allah menunjuki dirimu. Mohon maafkan aku. Terima kasih banyak. Aku pamit.” Husin mengucap salam dan melangkah cepat keluar gubug itu. Tinggallah Syarif sendirian dalam gundah gulana yang segelap malam. Mulutnya sudah tak mau bicara, hanya air matanya yang berurai tiada henti. Dalam semalam, ia telah kehilangan segalanya. *** Rasa kantuk telah mati. Syarif tak tidur semalaman. Alam pikirannya berseliweran tak henti-henti, membayang-bayang di hadapan pelupuk matanya. Matahari baru naik sepenggalahan, sunyi merawankan. Suara ledakan tiba-tiba terdengar, jauh dan dalam. Serangan Belanda rupa-rupanya telah dimulai. Semua gambaran mengerikan terpampang jelas. Dan baur terusir pergi tidak peduli. Jantung Syarif berdetak lebih kencang, pelipisnya berdenyut-denyut, kepalanya pening. Napasnya memburu, dan realitas di tempurung kepalanya berat menggantung. Ia ragu-ragu. Tiba-tiba suara ketukan terdengar dari pintu gubugnya. Ia melangkah gontai, dan membuka pintunya, terbelalaklah matanya. Dua orang prajurit berdiri diam membisu. Di antara mereka ada usungan, dan Husin terbaring tak bernyawa di dalamnya. Tubuhnya telah dilapisi baju zirah yang berdarah-darah. Matanya telah tertutup sampai ke akhir dunia. “Husin meminta semua ini sebelum ia syahid. Ia mau kaulah yang menguburkan jenazahnya,” kata salah seorang prajurit itu. Kemudian mereka mengucap salam dan pergi. Dalam sunyi berlinanglah lagi air mata di pipi lelaki itu. Ia melangkah mendekati mayat saudaranya. Tubuh suci pejuang itu dibasuh air mata. Syarif berlutut di dekat mayat Husin, dan doa-doa lirih melayang-layang, menguap ke angkasa raya, terbang ke hadirat Tuhan. “Bahagianya dirimu,” bisik Syarif, “Kenalkan aku pada istrimu yang cantik itu.” Syarif menggendong jenazah sahabatnya. Digalinya sebuah liang lahat di dekat gubug itu. Dikuburnya sahabatnya itu dalam kehormatan pakaian perang yang berlumuran darah. Harum, ikhlas tanpa cela. Selesai memakamkan sahabatnya ia berlari ke kamarnya, mengambil pedang, dan sebuah bungkusan kain berwarna kuning dari balik tempat tidurnya. Ia keluar dari sana dan berlari, tak sempat menutup pintu. Berlari, terus berlari. Tak henti. Tak lama kemudian sampailah ia di ambang pintu gubug Jamilah. Tangannya gemetar, diketuknya pintu itu, dan diucapkannya salam. Tak harus menunggu lama, Jamilah membukakannya, dan ia tegak di ambang pintu. Syarif menatap kepedihan. Wajah Jamilah telah redup. Matanya sembab, ada bayangan hitam di pelupuknya, tanda bahwa ia mencucurkan air mata semalaman. Namun di tengah-tengah kepedihan Jamilah masih sudi mempersembahkan senyum bagi lelaki yang dicintainya itu. Suara dentum ledakan samar-samar di telinga mereka. Hati meracau, dan hidup penuh galau. Sepasang pencinta itu berhadap-hadapan, membisu beberapa detik sebab jiwa menggelora. Apa yang harus mereka ucapkan, yang mereka tahu hanya kata cinta. Dan mereka hanya diam, ingin menyelami seberapa dalam hati mereka. Syarif merogoh saku celananya, mengambil bungkusan kain berwarna kuning itu. Dibukanya ikatannya, dan ia sodorkan bungkusan itu kepada Jamilah dengan kedua belah tangannya. Jamilah terkejut, ia mendekap mulutnya. Isi bungkusan itu adalah sebuah gelang emas. Hanya sebuah. “Ini jeulamee [10] untukmu,” kata Syarif, “Terimalah, aku dapatkan ini dengan susah payah hanya untukmu.” Jamilah ragu, tapi ia layangkan juga tangannya untuk mengambil benda itu dengan gemetar. Ia dekap gelang itu di dadanya, dan hatinya menguapkan puji-pujian hanya kepada Tuhan. Air matanya telah berlinang. Beberapa detik berlalu mereka hanya diam. Tak kuasa berkata apa-apa. Suara dentuman sayup-sayup terdengar lagi. Membuyarkan angan-angan mereka tentang keindahan pernikahan yang tak akan pernah terlaksana. Cinta mereka suci, namun tak kuasa mereka menyatukannya. “Aku akan berangkat berperang,” kata Syarif dengan gemetar, wajahnya menunduk menatap tanah, tak sanggup memandang wajah kekasihnya. “Aku mencintaimu, sungguh-sungguh mencintaimu. Aku tak ingin bidadari, aku hanya menginginkanmu. Jaga dirimu baik-baik.” Syarif berbalik dan melangkah cepat meninggalkan kekasihnya. Ia berlari sambil menenteng pedang di tangan kanannya. Jiwanya menggelora, ia menangis. Tapi belum jauh ia berlari, langkahnya telah terhenti. “Cutbang, tungguuuu,” Jamilah memanggil. Syarif menoleh ke belakang, ia melihat Jamilah masuk ke dalam gubugnya. Beberapa detik kemudian ia keluar lagi dengan menenteng pedang. Ia berlari mendekati Syarif. Gelang emas itu tetap didekapnya di dadanya. Jamilah menatap dalam-dalam mata kekasihnya itu, “Demi Allah aku mencintaimu, Cutbang. Aku ingin bahagia bersamamu. Ingin sekali.” Ledakan-ledakan terdengar lagi. Dentuman senjata membahana sunyi. Rentetan peluru tak putus-putus. Jauh dan sabar, sendu dan pilu. Senyum merekah di wajah Syarif. “Aku tak ingin bidadari, aku hanya ingin dirimu. Perang Sabil menunggu kita, mari berangkat.” Mereka berjalan cepat, bersisian. Pedang kokoh dalam genggaman masing-masing. Pandangan mereka lurus ke depan, menatap perjuangan yang jadi amanah Tuhan. Baru kali itu senyum merekah di bibir mereka berdua, bersama-sama. Gelang emas teguh dalam dekapan Jamilah, seteguh Syarif mendekap cintanya. Mereka bertempur bersama-sama dalam Perang Sabil. Menggadaikan cinta mereka demi perjuangan, dalam kebesaran jiwa, dalam keikhlasan, dalam cinta. Dan berbahagialah mereka selamanya dengan cinta mereka. Tuhan sendiri yang menikahkan mereka. Para malaikat menjadi saksi-saksinya. Bidadari-bidadari jadi pengiring-pengiringnya. Seisi surga berbahagia…
Read Post | ulasan (1)

Doa Untuk Menghilangkan Waswas. - Dunia Islam

Ahad, 18 November 2012

Read Post | ulasan

Aceh (Jangan) Tertipu Lagi



PERCAYA atau tidak, sejak dulu Aceh atau orang Aceh cukup dikenal dengan tipu muslihat atau taktik untuk mewujudkan sebuah tujuan, baik tujuan politik perperangan demi perjuangan melawan kolonialisme. Bahkan Belanda mengakui akan kehebatan orang Aceh dalam hal ini. Salah satu cerita yang paling termasyhur adalah ketika masa penjajahan, pejuang Aceh bernama Teuku Umar berhasil menipu kolonial Belanda.

Awalnya ia bersedia berunding dengan bekerja sama membantu menaklukkan perlawanan masyarakat Aceh. Tapi akhirnya Belanda malah dikelabui oleh suami Tjoet Nyak Dien ini. Ratusan pucuk senjata berhasil dicuri dan digunakan kembali untuk melawan Belanda.

Selain cerita tersebut, sebenarnya masih banyak tipu-tipu masyarakat Aceh yang ternukil dalam sejumlah hikayat. Menurut sejumlah kalangan, “tipu Aceh” ini dapat diartikan sebagai “tipu” untuk kepentingan pribadi, di sisi lain cara tersebut juga merupakan “taktik” untuk mencapai sebuah tujuan politis dan perjuangan membela bangsa Aceh melawan segala bentuk kolonialisme.

Meski tipu-tipu Aceh ini sangat dikenal bahkan sempat menjadi bagian dari catatan seorang pengarang asal Jawa Barat dalam buku berjudul “Aceh di Mata Urang Sunda”, nyatanya di balik itu sejak masa kemerdekaan hingga kini, Aceh lah yang selalu tertipu atau dibohongi oleh pemerintah Pusat Jakarta. Situasi ini mulai terlihat sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno.

Sejak itu Aceh mulai tertipu dengan janji-janji semu. Pada masa pemerintahan selanjutnya bahkan lebih parah dari sekadar ditipu, Aceh bahkan “dibungkam”. Mirisnya hingga kini Aceh masih saja tertipu. Faktanya, ketika Pemerintah Republik Indonesia dan GAM menandatangani MoU Helsinki, sejumlah poin MoU tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah pusat hingga hari ini.

Dengan segudang alasan, Aceh harus tetap menunggu sejumlah poin MoU untuk direalisasikan. Bahkan baru-baru ini, Aceh kembali hampir tertipu ketika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kawasan bebas Sabang--yang cukup lama dinanti--dianulir oleh Kementerian Keuangan. Beberapa pasal yang telah disepakati, kembali dianulir oleh Menteri Keuangan, dengan alasan ada kesalahan ‘komunikasi” di jajarannya. Kesalahan seperti apa? Wallahu’alam.

Untung saja saat itu Wakil Gubernur Aceh segera menyampaikan hal tersebut kepada Presiden SBY dalam sebuah momen Pramuka di Jakarta. Jika tidak, aturan tersebut dapat menjadi tipu Jakarta berikutnya. Itu sebabnya reaksi keras datang. Aceh tentu tak ingin tertipu lagi, sebab dulu pelabuhan bebas juga sempat dihentikan oleh Presiden Soeharto dengan sebab-musabab yang kecil, misalnya disebut maraknya penyelundupan. 

Menurut Sejarawan Aceh, Drs Rusdi Sufi, berdasarkan sejarah Aceh, di balik tipu-tipu Aceh, cukup banyak tipu-tipu Jakarta terhadap Aceh. Berdasarkan pengalaman tersebut, ke depan para pemimpin maupun generasi Aceh harus berhati-hati dan jangan mudah terbuai dengan janji semu Jakarta. Intinya, masyarakat harus tetap bersatu agar tidak mudah dikelabui pihak Jakarta (pemerintah Pusat).

Sementara menurut Pemerhati Sejarah Aceh, Ramli A Dally, teknik tipu yang dilancarkan Jakartaterhadap Aceh hingga saat ini bisa saja telah di-setting dan menjadi bagian dari teori kekuasaan. Dengan kata lain, Aceh sejak dulu dijadikan kawasan tertentu (cadangan kekuasaan) untuk mencapai sebuah tujuan. Diibaratkan sebuah ular, katanya, meski kepalanya dilepas, namun ekornya tetap dipegang bahkan diikat dengan kuat. Untuk itu masyarakt Aceh harus tetap waspada terhadap tipu-tipu Jakarta.

Berdasarkan sejumlah sumber yang diperoleh dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, banyak catatan tentang perlakuan Pusat terhadap Aceh yang cukup memiriskan hati dan menyebabkan masyarakat Aceh dirugikan. Penipuan terhadap Aceh sebenarnya telah terjadi sejak zaman kemerdekaan atau masa revolusi kemerdekaan.

Dulu pada tahun 1948, saat masa revolusi kemerdekaan atau setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, seluruh kawasan Indonesia kembali diduduki oleh Belanda, kecuali Aceh. Awalnya, setelah Belanda menyerah kepada sekutu, pada September tahun 1948 tentera sekutu masuk ke Indonesia untuk menerima penyerahan Jepang kepada Indonesia. Namun saat itu penguasa sipil Belanda yakni NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) menyusup masuk dan kembali menduduki Indonesia. Bahkan Presiden Soekarno ditangkap saat itu. Satu-satu kawasan yang tidak dimasuki Belanda adalah Aceh.

Saat itulah petinggi-petinggi RI datang ke Aceh yang tetap aman. Bahkan uang Indonesia (Oeang Republik Indonesia) pernah dicetak di Aceh. Selanjutnya pada 7 Mei 1949, ditandatanganilah kesepakatan yang dinamakan Perjanjian Rum-Royen. Berdasarkan perjanjian tersebut, tahanan politik dibebaskan, Belanda menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesi Serikat, selanjutnya akan diselenggarakan Konfrensi Meja Bundar antara Belanda dengan Indonesia setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta. Saat itulah Soekarno dibebaskan. Setelah dibebaskan, ia datang ke Aceh bersama sejumlah rombongan.

Kedatangannya ke Aceh melalui lapangan terbang di Lhoknga disambut sangat meriah oleh masyarakat. Selanjutnya diadakan pertemuan dengan para tokoh dan saudagar Aceh di Hotel Aceh yang kini hanya tinggal tapaknya saja, yakni kawasan samping Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Saat itu Aceh merupakan sebuah Keresidenan Aceh yang dipimpin oleh T. Daudsyah setelah menggantikan T. Nyak Arif. Soekarno juga bertemu dengan Daud Beureueh yang merupakan Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.

Kala itu Daud Beureueh meminta agar khusus kawasan Aceh diberlakuan syariat Islam. Soekarno menyetujuinya. Aceh menyatakan setia kepada republik, namun Daud meminta agar kesepakatan tersebut dapat berbentuk hitam di atas putih (tertulus). Namun hal itu tak pernah terjadi. 

Soekarno dengan berlinang air mata bahkan bersumpah akan mewujudkan hal itu. Dia mengaku tak perlu bukti tertulis karena Daud Beureueh merupakan orang yang dihormatinya sehingga tak mungkin dikhianati. Itulah tipu pertama yang terjadi terhadap Aceh. Presiden saat itu tak bersedia membuat perjanjian tertulis,”  kata Sejarawan Rusdi Sufi.

Tak cukup dengan tipu tersebut, siang harinya, saat berkumpul dengan para saudagar Aceh, Soekarno menginstruksikan kepada para saudagar bahwa di seluruh Indonesia, telah dibentuk semacam penggalangan dana untuk membeli pesawat milik Indonesia. Untuk itu para saudagar juga diimbau untuk menyumbang dana membeli pesawat.

Saat itu semua pedagang saling menatap dan terdiam. Lama terdiam, Soekarno kembali bicara “Jika tak menjawab, saya tak akan makan siang dengan para saudagar”, katanya. Akhirnya, saudagar setuju, maka terkumpulah sekira 20 kilo emasdari saudagar dan masyarakat.

Transaksi nilai tersebut saat itu dapat membeli dua buah pesawat jenis Dakota RI-001 Seulawah. Namun setelah dibentuk panitia pengadaan pesawat, hanya satu pesawat yang dibeli---bangkai pesawat ini sekarang diletakkan di Blang Padang, Banda Aceh--sisanya dikorup oleh sejumlah orang yang terlibat di Pusat. Pesawat inilah yang seterusnya menjadi cikal bakal perusahan penerbangan pertama di Indonesia.
Konon setelah menyumbang untuk pesawat, para saudagar dan masyarakat Aceh juga pernah membeli obligasi senilai puluhan kilogram emas. Emas ini diterima oleh Margono Joyo Hadi Kusomo, ayah dari Sumitro (Presiden Bank Negara Indonesia) atau kakek dari Prabowo Subianto. Obligasi ini rencananya digunakan untuk membangun bank milik Pemerintah Indonesia, namun tak jelas juntrungannya sehingga Aceh tak pernah memperoleh kontribusi secara maksimal. Aceh kembali tertipu.

Istimewa hanya sebutan Saat itu, posisi perekonomian Aceh memang lebih maksimal dibanding dengan sejumlah kawasan lainnya di seluruh Indonesia. Pasalnya, semua lautan dikuasai oleh Belanda. Namun, saudagar Aceh berani menembus blokade Belanda di laut sehingga dapat melakukan perdagangan dengan negara luar. Situasi ekonomi yang tergolong makmur ini seolah dimanfaatkan sebagai Keuntungan bagi Pusat. Tak lama setelah itu, Aceh akhirnya dijadikan provinsi, Daud Beureueh menjadi Gubernur pertama.

Namun tak sampai setahun, yakni tahun 1950, pemerintah pusat memutuskan hanya ada sepuluh provinsi di Indonesia. Aceh digabung dengan Sumatera Utara. Pusat beralasan bahwa berdasarkan konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) hanya ada sepuluh provinsi, padahal status RIS telah ditolak oleh sebagian besar bangsa Indonesia sehingga Indonesai kembali menjadi NKRI. Anehnya ternyata jumlah provinsi bukanlah sepuluh, melainkan sebelas, karena secara diam-diam, pemerintah menyetujui Jogjakarta menjadi provinsi, bahkan dengan status istimewa. Itu tetap berjalan walau bertentangan dengan Undang-undang. Aceh kembali tertipu.
Pemerintah Aceh, tak terima dengan status ini. Namun pusat terus “mendesak”, status ini harus diterima. Akhirnya Aceh kembali turun menjadi keresidenan. Merasa dikhianati, maka pada September 1953 munculah gerakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang sebetulnya telah terbentuk di Jawa barat. Namun, di Aceh gerakan serupa disebut NBA (Negara Bagian Aceh) yang berada di bawah NII (Negara Islam Indonesai) yang dibentuk oleh Karto Suwiryo. Akibatnya, Aceh Diserang!.

Namun perlawanan Aceh semakin kuat. Mungkin Pusat membaca dari pengalaman bahwa Aceh tak dapat ditaklukkan dengan kekerasan, maka para pimpinan DI/TII diajak berdialog. Pusat berjanji akan mengembalikan status Aceh menjadi provinsi, bahkan ditambah dengan embel-embel istimewa dari segi kebudayaan, Pendidikan, dan Agama.Lagi-lagi Aceh tertipu.

Status yang dijanjikan hanya berlaku di atas kertas, sedangkan payung hukum atau regulasi pelaksanaannya tak pernah ada. Praktis realisasinya juga nihil. Bahkan kata-kata yang ternukil pun cukup menggelitik yakni “Aceh dapat disebut daerah istimewa” Kalimat ini bisa saja ditafsirkan bahwa istimewa hanyalah sebutan. Faktanya, ternyata realisasinya memang tak pernah ada. Namun kala itu, sekira tahun 1957 Aceh sedikit makmur dari segi perekonomian. Pasalnya, Aceh menjalankan sistem dagang barter dengan negara luar negeri. Namun beberapa tahun kemudian, sekira akhir tahun 1959, karena Aceh tergolong makmur, mungkin mata Jakarta mendelik, kebijakan barter dicabut.

Ternyata tipu-tipu “Jakarta” ini belum selesai hingga di situ. Pada Tahun 1963, dalam rangka “Ganyang Malaysia, pemerintah Pusat menetapkan status Sabang menjadi pelabuhan bebas. Namun status itu juga tidak disertai peraturan teknis yang mengatur pelaksanaannya. Akhirnya beberapa tahun kemudian, status pelabuhan bebas Sabang kembali dicabut. Alasan pusat karena terjadi beberapa penyelundupan, padahal hanya dalam skala kecil. Akhirnya pamor Sabang kembali meredup sehingga perdagangan Aceh terganggu. Aceh hanya kecipratan rasa bangga, sedangkan hasilnya tidak ada. Aceh kembali tertipu.

Berdasarkan sejumlah pengkhianatan tersebut, dan disertai sebab lainnya, muncullah GAM. Pada masa-masa selanjutnya, masa Soeharto misalnya, Aceh malah bukan lagi ditipu. Banyak korban rakyat sipil yang berjatuhan. Bahkan seluruh masyarakat Indonesia merasakan hal itu. Saat itu situasi negara sudah mulai dikusai oleh sejumlah partai. Ternyata tak semua masyarakat Aceh dapat tertipu, buktinya ada partai tertentu tidak menang di Aceh. Hal ini menyebabkan rezim yang berkuasa semakin benci kepada masyarakat Aceh.

Jangan tertipu lagi, Kini pada masa-masa pemeritahan sekrang, hal serupa pada dasarnya hampir terjadi, dimana sejumlah regulasi sebagai penguat realisasi poin MoU terkadang diperlambat, bahkan ada yang terkesan dipersulit. Seperti halnya dengan RPP Sabang, jika saja tak ada inisiatif yang kuat dari Pemerintah Aceh, bisa saja RPP tersebut sah dianulir. Demikian juga dengan PP tentang pembentukan KKR, hingga saat ini belum jelas tunjungannya.

Menurut Sejarawan Rusdi Sufi, dan Pengamat Sejarah Ramli A. Dally, ke depan Aceh harus waspada terhadap semua siasat pusat (Jakarta). Pasalnya Aceh akan tetap dijadikan ‘kawasan cadangan” bagi pusat dengan tujuan tertentu.

“Kesimpulannya, pusat hanya akan segan terhadap Aceh jika masyarakatnya bersatu. Jika tidak, masyarakat Aceh kembali akan ditipu, itulah sekilas tipu-tipu pusat. Satu lagi yang paling penting, jangan sampai orang Aceh menipu bangsanya sendiri...”

Read Post | ulasan

Akhirnya Aceh Merdeka: Bendera Bulan Bintang Berkibar, Passport Sebagai Identitas

Khamis, 15 November 2012


Ada dua janji Gubernur - Wakil Gubernur Aceh yang terpilih periode 2012-2017, diantara sekian banyak janji-janji pada masa kampanye yang telah ditetapkan bulan April yang lalu. Yaitu mengibarkan bendera Bulan Bintang dan Pasport sebagai Identitas.
Sepertinya dua janji ini hampir terlupakan, karena tidak dimasukkan ke dalam 21 janji Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (Gubernur - Wakil Gubernur Aceh terpilih) pada pelantikannya bulan kemarin.
Menurut saya, kedua janji ini sangat bagus dalam menentukan akan kekhususan Aceh dari daerah-daerah lain yang berada dalam wilayah NKRI. Apabila janji ini bisa diwujudkan dalam masa kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (ZIKIR), maka Aceh akan nampak jelas kekhususan dan keunikannya sebagai daerah super Istimewa. Karena mempunyai bendera sendiri dan paspor sebagai Identitas.
Apa namanya kalau suatu daerah sudah mempunyai bendera dan paspor sendiri, kalau bukan Merdeka. Jangan salah menilai, merdeka disini adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada Aceh untuk mengelola daerahnya sendiri, akan tetapi masih dalam wilayah dan pengawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Hal ini sesuai dengan MoU Helsinky, sebuah perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sangat unik, bukan? Mungkin Aceh akan termasuk pemecah rekor MURI dan akan dikenal diseluruh penjuru dunia. Daerah-daerah lain yang telah melakukan pemberontakan dan tidak sanggup untuk memisahkan daerahnya dari negara yang diberontak, mungkin mereka akan ke Aceh untuk meneliti dan berpedoman terhadap perdamaian di Aceh.
Bulan Bintang, Bendera Khas Aceh
Aceh mempunyai otonomi Daerah, Keistimewaan, dan kekhususan. Sehingga Aceh boleh membuat bendera sendiri, membedakan Aceh dengan daerah-daerah lain. Hal ini tertuang dalam Poin 1.1.5 MoU Helsinky dan pasal 246 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang bunyinya:
pasal 246; (1) Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. (3) Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Seperti janji Gubernur-Wakil Gubernur Aceh 2012-2017, akan membuat bendera Aceh berlambangkan Bulan Bintang dan mengibarkannya diseluruh pelosok Aceh ban sigom donya. Isu yang berkembang sampai saat ini adalah Bendera Bulan Bintang yang diperjuangkan dulunya pada masa konflik, bendera itulah yang akan dijadikan sebagai bendera khas Aceh dan sah untuk dikibarkan.
Mimpi orang Aceh untuk mengibarkan bendera Bulan Bintang di daerahnya sejak 30 tahun yang lalu (sebelum perjanjian damai), akan tercapai kali ini. Setidaknya harus disyukuri bahwa keinginan untuk mengibarkan bendera itu telah tercapai, hanya saja tergantung kepada Legislatif dan Eksekutif dalam merancang dan mengesahkannya.
Bukan suatu hal yang mudah untuk membuat bendera dan mengibarkannya di Aceh. Walaupun Legislatif dan Eksekutif telah menyetujui lambang bendera Aceh, akan tetapi harus diverifikasi terlebih dahulu ke pemerintah pusat. Pemerintah pusat lah yang akan menentukan boleh dan layak atau tidak layak bendera tersebut untuk dikibarkan di Aceh. Perlu perjuangan yang banyak untuk terwujudnya mimpi tersebut.
Sekarang yang menjadi persoalan adalah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi tidak memperbolehkan bendera Aceh yang akan dikibarkan mirip dengan bendera pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pernyataan demikian akan membuat para Legislatif dan Eksekutif Aceh harus berfikir banyak dan mencari solusi supaya bendera Bulan Bintang boleh dikibarkan di Aceh. Apakah tetap harus sama dengan bendera perjuangannya atau membuat bendera baru tapi tetap ada Bulan Bintangnya.
Passport Sebagai Identitas
Paspor adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar negara.
Dalam permasalahan passport yang dijanjikan oleh Gubernur Aceh, saya ada dua pendapat. Pertama adalah pasport yang dijanjikan oleh Gubernur Aceh itu bisa jadi maksudnya akan digratiskan pembuatan pasport bagi seluruh rakyat Aceh yang ingin bepergian ke luar negeri. Jika ada rakyat Aceh yang ingin membuat pasport, maka tidak sesulit seperti belakangan ini.
Kedua adalah bagi setiap orang yang datang ke Aceh, yang berasal dari daerah lain (masih dalam wilayah Indonesia) harus membuat sejenis pasport untuk bisa berkunjung ke daerah Aceh. Diperbatasan Aceh-Medan, Bandara Sultan Iskandar Muda, dan pelabuhan-pelabuhan akan dibuat pos pemeriksaan Pasport, dengan demikian akan terdata berapa orang yang masuk, menetap, dan berkunjung ke Aceh.
Pertanyaan: Apakah mungkin sejenis pasport akan digratiskan pembuatannya oleh pemerintah Aceh bagi rakyat Aceh yang menginginkanya? Dan Apakah boleh Pemerintah Aceh menerapkan peraturan bagi warga Indonesia yang berasal dari daerah lain untuk berkunjung ke Aceh, harus membuat sejenis pasport?
Menurut saya, apabila Pemerintah Aceh punya banyak dana di Kas Daerahnya, mungkin saja bisa menggratiskan pembuatan pasport bagi rakyat Aceh yang memerlukannya. Berkaitan dengan penerapan aturan pembuatan sejenis pasport bagi warga Indonesia yang berasal dari daerah lain, saya kira itu sangat menarik dan sah-sah saja. Jadi bagi setiap warga Indonesia dari daerah lain yang berkunjung atau berwisata ke Aceh, harus bisa menunjukkan pasportnya apabila diminta oleh pihak yang berwajib.
Apabila segala isi perjanjian yang ada di dalam MoU Helsinky dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) itu bisa dilaksanakan dan berjalan dengan baik di Aceh, sungguh Aceh akan menjadi daerah terpoluler dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Saya hanya bisa berharap, sejarah jangan sampai terulang lagi. Seperti sejarahnya pada masa kepemimpinan Daud Beureu-eh, akibat kekecewaannya karena jabatan, sehingga Daud Beureu-eh kembali melakukan pemberontakan dengan Indonesia. Walaupun masih ada sekelompok orang sampai sekarang yang membela mati-matian nama baik Daud Beureu-eh, tapi menurut saya bahwa Daud Beureu-eh telah gagal dimasa kepemimpinannya, yang memimpin bukan atas nama dan kepentingan rakyat, hanya atas nama pribadi dan kelompok.
Mudah-mudahan, keistimewaan dan kekhususan Aceh tidak lagi dicampur-adukkan dengan pemikiran-pemikiran busuk oleh kelompok apapun, yang tujuannya untuk kembali memberontak dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mari kita sama-sama menikmati kemerdekaan Aceh ini (merdeka dalam NKRI) dengan rasa syukur, rasa aman, nyaman, dan damai. Semoga Allah meridhai perdamaian yang telah berlangsung 6 tahun sampai selanjutnya dan semoga tidak terjadi lagi pemberontakan berupa pembunuhan, intimidasi dan lain sebagainya.


http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/13/akhirnya-aceh-merdeka-bendera-bulan-bintang-berkibar-passport-sebagai-identitas-471133.html
Read Post | ulasan

Newsletter Pariwisata Indonesia Edisi Terbaru November 2012


Newsletter Pariwisata Indonesia Edisi Terbaru November 2012
Read Post | ulasan

Kenangan Referendum Aceh 1999



November adalah bulan yang bersejarah bagi Rakyat Aceh, Memori seakan diputar pada 13 tahun lalu. Kenangan akan rakyat Aceh pada Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, 8 November 1999. Kala itu, semua elemen masyarakat bersatu tekad mengakhiri konflik Aceh secara bermartabat. Salah satu isu yang mencuat adalah referendum. Saat itu, di keude kupi, terdengar sayup-sayup pekikan “merdeka” atau “referendum”.

Sidang rakyat yang diklaim dihadiri lebih dari 1,5 juta rakyat Aceh di pelataran Masjid Raya Baiturrahman tersebut, selain meluapkan kemarahan terhadap ketidakdilan yang menimpa Aceh, rakyat juga diajak mendengarkan orasi tokoh-tokoh Aceh. Rakyat Aceh dengan senang hati menggunakan ikat kepala bertuliskan “Referendum.” Emosi mereka diaduk-aduk oleh isi pidato heroik dari tokoh Aceh. Pelataran masjid menjadi saksi pekikan “Allahu Akbar”, alunan shalawat nabi, hikayat Perang Sabil, dan zikir.

Sidang tanpa kekerasan tersebut, dipandu sejumlah tokoh-tokoh Aceh dari atas mimbar. Ada Akmal Abzal (pemandu acara), Muhammad Nazar (SIRA), Faisal Ridha (Ketua Panitia), Tgk Nuruzzahri (HUDA), Tgk Bulqaini Tanjongan (pimpinan Rabithah Thaliban Aceh), Fajri M Kasim (tokoh mahasiswa), Cut Nur Asikin (aktivis perempuan), Tgk Muhammad Yus (Ketua DPRD Aceh), dan M Nasir Djamil (anggota DPRD Aceh).

Saat itu, tokoh pertama yang melakukan orasi adalah Nuruzzahri sebagai wakil dari kalangan ulama. Dalam orasinya, ia menyebutkan, Allah swt telah memperlihatkan kepada dunia hari ini, bagaimana hasrat dan keinginan suci rakyat Aceh yang tertindas, ditipu dan dizalimi puluhan tahun, telah bisa bersatu di Banda Aceh di rumah Tuhan menyuarakan tuntutan referendum.

Orasi kedua disampaikan oleh Fadjri M Kasem. Ia menyebutkan mahasiswa tetap berkomitmen terus memperjuangkan tuntutan rakyat Aceh. Tgk Bulqaini Tanjongan yang menyampaikan orasi ketiga saat itu menyebutkan, apa yang dikatakan pemerintah pusat bahwa hanya sebagian rakyat Aceh yang menuntut referendum Aceh adalah bohong. Ia meminta agar pejabat-pejabat Aceh jangan ada lagi yang melaporkan ke Jakarta kalau rakyat Aceh hanya sedikit meminta dilaksanakan Referendum. “Hari ini telah dibuktikan oleh seluruh rakyat Aceh bersatu padu ke Banda Aceh menyuarakan aspirasi dan tuntutannya terhadap Referendum,” tandas Bulkaini. (baca: Serambi Indonesia, 9 November 1999).

Orasi keempat disampaikan oleh Cut Nur Asikin. Pidato Cut Nur Asikin yang telah almarhum saat tsunami tahun 2004 bisa juga dilihat dalam film “Black Road” karya William Nessen. Dia dengan bersemangat mengatakan, rakyat Aceh akan memperjuangan referendum hingga titik darah penghabisan.

Pada pukul 11.05 Wib, tampil Tgk Muhammad Yus. Ketika itu ia berjanji akan meneruskan perjuangan yang dikehendaki rakyat Aceh. Muhammad Yus juga menjelaskan bahwa kedudukannya saat itu hanya baru sebatas sebagai ketua DPRD Aceh yang baru dipilih beberapa hari lalu dan sampai kemarin belum mendapat pengesahan. Karenanya, Muhammad Yus saat itu memanggil pimpinan sementara DPRD Aceh, Nasir Djamil (anggota termuda) untuk bersama-sama menyampaikan serta membaca komitmen DPRD Aceh dan Pemda Aceh. 

Komitmen itu antara lain, Pertama, mengakui bahwa tuntutan dan perjuangan untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Aceh melalui sebuah Referendum Damai dan Demokratis merupakan tuntutan dan perjuangan rakyat Aceh secara keseluruhan, serta mesti ditanggapi secara positif oleh semua pihak di tingkat nasional dan internasional.

Kedua, berjanji memperjuangkan terwujudnya pelaksanaan referendum di Aceh secara transparan, damai, dan demokratis. Ketiga, berjanji menolak segala bentuk militerisme di Aceh. Keempat, apabila kami mengingkari komitmen-komitmen tersebut, maka kami berhak diberikan hukuman sosial oleh seluruh rakyat Aceh.

Demikianlah satu penggal sejarah Aceh. Tahun 2000, kegiatan serupa diadakan lagi. Namun tidak sebagus tahun 1999. Dalam sidang kedua, tidak sedikit rakyat Aceh menjadi korban. Saat itu, mereka memberikan nyawa dan apapun demi Aceh. Kenangan pahit ini membuktikan bahwa rakyat Aceh bisa bersatu dalam kepedihan. Namun, rakyat tidak mungkin lagi bersatu dalam ketidakpedihan. Saat ini, tokoh-tokoh yang menyampaikan orasi dipelataran Masjid Raya Baiturrahman atau yang telah menggerakkan massa hingga berkumpul ke “Kutaraja” telah menjadi pemimpin atau wakil rakyat. Kita tentu tidak tahu, apakah mereka masih punya semangat seperti tahun 1999. Demikian pula, kita tidak bisa memastikan, apakah rakyat masih bisa menyampaikan sikap seperti tahun itu.

Amanat Sidang tersebut agaknya telah tenggelam dengan situasi Aceh sekarang. Sekarang Aceh miskin tokoh dan pemimpin kharismatik. Rindu dengan orasi yang mampu memberikan spirit perjuangan bagi rakyat Aceh. Kerinduan kita bukanlah menghadirkan kembali konflik melainkan menarik kembali spirit mengisi perdamaian Aceh. Pengalaman referendum tahun 1999 memberikan alasan kuat mengapa orang Aceh mampu bersatu dalam kepedihan dan berkonflik ketika damai?

Artinya, konflik bisa menyatukan rakyat Aceh yang beragam etnik dan bahasa dengan melupakan perbedaan-perbedaan. Namun ketika berada dalam satu gerbang perdamaian pasca-MoU Helsinki 15 Agustus 2005, yang terjadi malah saling sikut kiri kanan, lawan dianggap kawan sementara kawan diposisikan sebagai lawan, karena saat ini “pendapat” tidak perioritaskan tetapi “pendapatan” yang dituhankan.

Setelah satu dekade referendum, perjuangan politik rakyat Aceh berubah total. Kemesraan semua lini perjuangan rakyat Aceh telah sirna. Saya menginginkan semua elemen perjuangan tahun 1999 bisa bersatu kembali mengambil spirit referendum dalam menata Aceh lebik baik ke depan, buang perbedaan dikarenakan pendapatan, tetapi satukan pendapat demi masa depan anak cucu kita.

Akhirnya, mari kita tarik kembali semangat referendum ini menjadi semacam spirit baru dalam membangun Aceh yang bermartabat. Sebab, sangat disayangkan jika korban dan darah rakyat Aceh hanya menjadi alat untuk membangkitkan kepentingan pribadi atau kelompok, jauhkan prinsip“meunyoe kon ie leuhob, meunyoe kon droe mandum gob”.
Read Post | ulasan

Wali Nanggroe Dalam Konsep Islam

Sabtu, 10 November 2012


Pengesahan Qanun Wali Nanggroe oleh DPRA pada hari Jum’at (2/11) lalu, telah menuai pro-kontra dari beragam komunitas di Aceh maupun mancanegara terutama mereka yang berdarah Aceh. Tentunya ada yang mendukung, dan ada juga yang menolak dengan beragam alasannya masing-masing.
Tulisan ini tanpa bermaksud mendukung atau menolak salah satu golongan, tetapi setidaknya saya memiliki satu tawaran konsep “Wali” yang  memiliki peranan posisi yang tinggi dalam sistem pemerintahan di Aceh dan memiliki kewibawaan sebagai wali yang sebenarnya, tidak hanya sebagai simbol singa ompong dengan hanya menguntungkan sebagian golongan dan menjadi parasit bagi golongan lainnya.
Istilah Wali dalam Islam dikenal juga sebagai sebutan bagi orang yang memiliki kemulyaan yang tinggi dan begitu “dekat” dengan Allah sang pencipta dengan ibadah dan nilai nilai spritual yang mereka miliki hingga dikenal istilah “waliyullah”. Bahkan Al Yusi dalam Hasyiyah Kifayat Al Awam menukilkan satu pandangannya tentang kriteria seorang wali dengan 4 syarat yang dimilikinya.
Pertama; Seorang wali adalah orang yang mendalam pemahamannya (al- arif) dengan ushuluddin (pondasi agama). Karena dengan ketentuan pertama ini seorang wali bukanlah sebatas orang bertuhan semata, tetapi memiliki pemahaman tauhid yang tinggi yang dapat membedakan adalah yang haq dan bathil dalam tauhid.
Kedua, seorang wali itu disyaratkan mendalam pengetahuannya tentang hukum syariat baik itu bersifat naqli tekstual yang bersumber langsung dari al Quran dan Hadist maupun analisis hukum yang bersifat ijtihadi. Dari syarat ini seorang Wali itu dapat menjadi mujtahid yang memahami kaidah kaidah ijtihad yang dapat mengayomi masyarakat untuk memberikan solusi hukum yang dibutuhkan oleh mawla (warga)nya.
Syarat ketiga, seorang wali mempunyai sifat yang mulia seperti war’a dan bersifat ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Tentunya Wali ini harus mendalami serta mengalamalkan dasar dasar tasawuf yang matang, termasuk di dalamnya adalah memiliki kewibawaannya. Meskipun bersifat dengan sifat terpuji merupakan hal yang khafi (tersembunyi), tetapi implementasi sifat terpuji ini dapat dinilai dari kesehariannya, dalam berbicara berpakaian, bertinggkahlaku dan beraktifitas dalam kesehariannya. Tentunya seorang wali dapat mcerminkan diri sebagai uswatun hasanah (panutan ummat) bagi rakyatnya.
Selanjutnya yang keempat, seorang wali senantiasa bersifat dengan sifat al khauf. Maksudnya sentiasa merasa Allah selalu mengawasinya dan tentunya jika selalu di awasi oleh Allah, seorang wali itu akan bertugas dalam ke-waliannya dengan penuh hati-hati sesuai dengan petunjuk Allah SWT.
Jika merujuk pada pendapatnya Al Yusyi di atas, bagaimana dengan konsep Wali Naggroe yang ada dalam qanun di Aceh?  sudah sesuaikah dengan konsep di atas? kemudian, perlukah kemampuan membaca Al-Qur’an dijadikan salah satu syarat menjadi Wali Nanggroe di Aceh?
Dalam hal ini, saya hanya mempunyai pandangan, bahwa sekarang ini disaat seluruh calon pemimpin diuji kemampuan Al- Qura’n-nya, mengapa menjadi Wali Nanggroetidak diuji juga? Apalagi untuk terwujudnya empat syarat di atas, mestilah mereka mampu dengan Al-Qur’an, karena disaat empat hal yang disyaratkan di atas sukar untuk dibuktikan dengan kasat mata, maka tentunya dengan diuji kemampuan AlQur’an, seorang Wali Naggroe akan dapat dilihat keterwakilan empat syarat di atas. (op)
(Penulis adalah Staf Pengajar Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga)
(Oleh: Mukhlisuddin, MA)
Read Post | ulasan

Kekuasaan Sang Wali

Rabu, 7 November 2012

Read Post | ulasan
 
© Copyright Atjeh-Online 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all