Featured Posts Coolbthemes

Sponsort

Adsense Two [468 x 60]

Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali

Ahad, 13 Januari 2013


Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali 

Melanjutkan tulisan kemarin tentang sosok Sang Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haythar, yang misterius dan tertutup serta keunggulannya dalam menjalin dan memelihara kerjasama dan hubungan dengan “dunia bawah tanah” Singapura, pembahasan kali ini akan mendeskripsikan kelihaian Malik Mahmud sebagai seorang yang lihai dalam memanfaatkan peluang “kekosongan” sejarah Aceh dalam mendukung langkah dan gerakan yang dilakukan oleh Hasan Tiro dalam memerdekakan Aceh.

Tahun 2002, adalah tahun penting bagi Malik Mahmud setelah perjalanan panjang yang ia lakukan bersama Hasan Tiro sejak mengenalnya tahun 1964. Tahun itu, adalah tahun penetapan sekaligus pengukuhan dirinya sebagai Perdana Menteri GAM sekaligus Pemangku Wali Nanggroe dalam rapat rahasia yang dihadiri secara terbatas oleh para kombatan GAM di luar negeri. Rapat rahasia itu dilaksanakan di Stavanger Norwegia atas inisiatif Malik Mahmud dalam upayanya menetapkan posisi dan kedudukan para elit GAM kala itu sekaligus sebagai usaha untuk tidak kehilangan reputasi di tengah perlawanan keras yang dilakukan oleh para pejuang GAM di Aceh yang sangat berwibawa saat itu yaitu Tengku Abdullah Syafei. Pemangku Wali sendiri dapat diartikan sebagai pelaksana tugas-tugas Wali Nanggroe apabila sang wali berhalangan sementara ataupun tetap. Namun demikian, muncul pertanyaan, apakah pengukuhan tersebut merupakan kehendak rakyat Aceh seluruhnya? Apakah pengukuhan tersebut semata-mata merupakan strategi menuju ke puncak kekuasaan Aceh dengan mengabaikan peranan Kesultanan Aceh yang sesungguhnya?

Sejarah mencatat, bahwa sejatinya wali nanggroe telah ada semasa Kesultanan Aceh di masa penjajahan Belanda yaitu Tuanku Hasyim Banta Muda, Syaikh Abdur Rauf al-Singkili yang pernah mewakili kerajaan Aceh. Kesultanan Aceh sendiri berawal dari kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) hingga Sultan Muhammad Dawud Syah (1874-1903). Namun demikian, dengan berlandaskan buku yang dikeluarkan oleh Parlemen Inggris, New Birth of Freedom tahun 1992, Hasan Tiro mengaku sebagai keturunan dan penguasa kesultanan Aceh yang ke-41 yaitu sejak tahun 1976. Ini adalah hal yang sungguh aneh di tengah para keturunan langsung Sultan dan Wali Nanggroe Aceh Darusalam yang terikat oleh sejarah dan tradisi kesultanan Aceh melihat kedudukan Hasan Tiro maupun Malik Mahmud sebagai tokoh yang memanipulasi sejarah Aceh untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Dalam diskusi Panteue yang turut dihadiri Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibarim sebagai cucu Sultan Alaidin Muhammad Dawud Syah (Sultan Aceh yang terakhir), juga hadir cucu Wali Nangroe Tuanku Hasyim Banta Muda, Adli Abdullah tanggal 12 Desember 2010 di Lampriet Banda Aceh, menurut Adli bahwa dalam daftar Piagam Bate Kureng, SAMA SEKALI TIDAK ADA NAMA Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro.

Selanjutnya, simbol kerajaan dan pemerintahan Aceh berupa cap Sikureng yang pernah diberikan kepada Tgk Chik di Tiro, setelah sepeninggal beliau pada tahun 1891, telah diserahkan kepada Habib Samalanga (Reid, 2005:275). Melihat symbol kerajaan yang dipegang oleh Habib tersebut, apakah keturunan habib itu juga berhak atas gelar Wali Nanggroe?

Melihat penelusuran sejarah singkat di atas tentang Wali Nanggroe, tentunya terbentuk pemahaman, siapa sebenarnya Hasan Tiro dan apa yang melandasi penunjukan Malik Mahmud sebagai Pemangku Wali Nanggroe untuk menduduki sebuah jabatan yang memiliki nilai-nilai kultur dan sejarah Keacehan yang sangat tinggi dan tak ternilai?

Disinilah letak kelihaian Malik Mahmud dalam merencanakan dan memanipulasi sejarah Aceh yang terputus karena didera konflik selama puluhan tahun. Malik Mahmud tampaknya menyadari posisinya yang sangat lemah dalam silsilah kesultanan Aceh sehingga merekayasa pertemuan rahasia Sigom Donya di Stavanger sebagai upayanya dalam mengukuhkan kedudukannya andaikan Hasan Tiro tiada. Hal ini sama dengan ketika marsekal Perancis Jean Baptiste Bernadotte menggantikan Raja Swedia Carl XIII yang tidak memiliki putra mahkota. Dengan musyawarah kerajaan yang diinisiasi oleh Bernadotte, maka mau tak mau dalam musyawarah tersebut menunjuk Bernadotte sebagai Raja Swedia pada tahun 1810.

Bisa dikatakan, apa yang dilakukan oleh Malik Mahmud dan mendiang Hasan Tiro dalam rapat Stavanger tersebut adalah Coup D etat atas sejarah dan nilai-nilai kultur serta budaya Aceh maupun pengkhianatan terhadap kejayaan Kesultanan Aceh masa lalu. Semuanya dilakukan bukan karena dilandasi oleh niat yang tulus dan ikhlas dalam mensejahterakan rakyat Aceh atau bahkan memerdekakannya, namun lebih karena nafsu kekuasaan.
continous....
Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali

Melanjutkan tulisan kemarin tentang sosok Sang Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haythar, yang misterius dan tertutup serta keunggulannya dalam menjalin dan memelihara kerjasama dan hubungan dengan “dunia bawah tanah” Singapura, pembahasan kali ini akan mendeskripsikan kelihaian Malik Mahmud sebagai seorang yang lihai dalam memanfaatkan peluang “kekosongan” sejarah Aceh dalam mendukung langkah dan gerakan yang dilakukan oleh Hasan Tiro dalam memerdekakan Aceh.

Tahun 2002, adalah tahun penting bagi Malik Mahmud setelah perjalanan panjang yang ia lakukan bersama Hasan Tiro sejak mengenalnya tahun 1964. Tahun itu, adalah tahun penetapan sekaligus pengukuhan dirinya sebagai Perdana Menteri GAM sekaligus Pemangku Wali Nanggroe dalam rapat rahasia yang dihadiri secara terbatas oleh para kombatan GAM di luar negeri. Rapat rahasia itu dilaksanakan di Stavanger Norwegia atas inisiatif Malik Mahmud dalam upayanya menetapkan posisi dan kedudukan para elit GAM kala itu sekaligus sebagai usaha untuk tidak kehilangan reputasi di tengah perlawanan keras yang dilakukan oleh para pejuang GAM di Aceh yang sangat berwibawa saat itu yaitu Tengku Abdullah Syafei. Pemangku Wali sendiri dapat diartikan sebagai pelaksana tugas-tugas Wali Nanggroe apabila sang wali berhalangan sementara ataupun tetap. Namun demikian, muncul pertanyaan, apakah pengukuhan tersebut merupakan kehendak rakyat Aceh seluruhnya? Apakah pengukuhan tersebut semata-mata merupakan strategi menuju ke puncak kekuasaan Aceh dengan mengabaikan peranan Kesultanan Aceh yang sesungguhnya?

Sejarah mencatat, bahwa sejatinya wali nanggroe telah ada semasa Kesultanan Aceh di masa penjajahan Belanda yaitu Tuanku Hasyim Banta Muda, Syaikh Abdur Rauf al-Singkili yang pernah mewakili kerajaan Aceh. Kesultanan Aceh sendiri berawal dari kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) hingga Sultan Muhammad Dawud Syah (1874-1903). Namun demikian, dengan berlandaskan buku yang dikeluarkan oleh Parlemen Inggris, New Birth of Freedom tahun 1992, Hasan Tiro mengaku sebagai keturunan dan penguasa kesultanan Aceh yang ke-41 yaitu sejak tahun 1976. Ini adalah hal yang sungguh aneh di tengah para keturunan langsung Sultan dan Wali Nanggroe Aceh Darusalam yang terikat oleh sejarah dan tradisi kesultanan Aceh melihat kedudukan Hasan Tiro maupun Malik Mahmud sebagai tokoh yang memanipulasi sejarah Aceh untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Dalam diskusi Panteue yang turut dihadiri Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibarim sebagai cucu Sultan Alaidin Muhammad Dawud Syah (Sultan Aceh yang terakhir), juga hadir cucu Wali Nangroe Tuanku Hasyim Banta Muda, Adli Abdullah tanggal 12 Desember 2010 di Lampriet Banda Aceh, menurut Adli bahwa dalam daftar Piagam Bate Kureng, SAMA SEKALI TIDAK ADA NAMA Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro.

Selanjutnya, simbol kerajaan dan pemerintahan Aceh berupa cap Sikureng yang pernah diberikan kepada Tgk Chik di Tiro, setelah sepeninggal beliau pada tahun 1891, telah diserahkan kepada Habib Samalanga (Reid, 2005:275). Melihat symbol kerajaan yang dipegang oleh Habib tersebut, apakah keturunan habib itu juga berhak atas gelar Wali Nanggroe?

Melihat penelusuran sejarah singkat di atas tentang Wali Nanggroe, tentunya terbentuk pemahaman, siapa sebenarnya Hasan Tiro dan apa yang melandasi penunjukan Malik Mahmud sebagai Pemangku Wali Nanggroe untuk menduduki sebuah jabatan yang memiliki nilai-nilai kultur dan sejarah Keacehan yang sangat tinggi dan tak ternilai?

Disinilah letak kelihaian Malik Mahmud dalam merencanakan dan memanipulasi sejarah Aceh yang terputus karena didera konflik selama puluhan tahun. Malik Mahmud tampaknya menyadari posisinya yang sangat lemah dalam silsilah kesultanan Aceh sehingga merekayasa pertemuan rahasia Sigom Donya di Stavanger sebagai upayanya dalam mengukuhkan kedudukannya andaikan Hasan Tiro tiada. Hal ini sama dengan ketika marsekal Perancis Jean Baptiste Bernadotte menggantikan Raja Swedia Carl XIII yang tidak memiliki putra mahkota. Dengan musyawarah kerajaan yang diinisiasi oleh Bernadotte, maka mau tak mau dalam musyawarah tersebut menunjuk Bernadotte sebagai Raja Swedia pada tahun 1810.

Bisa dikatakan, apa yang dilakukan oleh Malik Mahmud dan mendiang Hasan Tiro dalam rapat Stavanger tersebut adalah Coup D etat atas sejarah dan nilai-nilai kultur serta budaya Aceh maupun pengkhianatan terhadap kejayaan Kesultanan Aceh masa lalu. Semuanya dilakukan bukan karena dilandasi oleh niat yang tulus dan ikhlas dalam mensejahterakan rakyat Aceh atau bahkan memerdekakannya, namun lebih karena nafsu kekuasaan.
continous....
Read Post | ulasan
 
© Copyright Atjeh-Online 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all