Sabtu, 10 Ogos 2013

Gugat Belanda Korban Pembantaian Westerling Menang, Belanda Minta Maaf


Den Haag | acehtraffic.com - Pemerintah Belanda menyatakan telah memberi kompensasi 10 janda korban pembantaian tentara Belanda yang dipimpin Raymond Pierre Paul Westerling di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 1946-1947.

Dalam pernyataan yang dirilis di Den Haag Kamis lalu, Belanda juga mengatakan akan meminta maaf secara terbuka atas kejahatan tersebut. 

"10 janda telah menerima kompensasi atas eksekusi yang dilakukan pada suami mereka oleh militer Belanda," demikian pernyataan Pemerintah Belanda seperti dimuat New Straits Times, 9 Agustus 2013. "Duta Besar Belanda, atas nama pemerintah, juga akan menyampaikan maaf secara terbuka." 

Ini adalah akhir dari perjuangan keluarga korban. Pada 20 Desember 2011 lalu, pengacara HAM, Liesbeth Zegveld mengatakan, para janda korban mencari keadilan atas kematian suami mereka. Menyusul vonis Pengadilan Den Haag yang memenangkan korban pembantaian Rawagede.

Gugatan perdata dilayangkan, sebab tak mungkin untuk mengajukan tuntutan pidana pada kasus yang terjadi jauh di masa lalu. 

"Kami sangat gembira dengan keputusan tersebut. Tapi ini hanya langkah awal dari sebuah proses besar: Belanda harus minta maaf atas segala pembantaian dan eksekusi tak sah yang dilakukan di Indonesia," kata Liesbeth Zegveld. "Tak segampang itu, hanya meminta maaf kasus per kasus."

"Para janda telah menerima uang, jumlah yang sama yang diberikan dalam kasus Rawaged," tambah Zegveld.

Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda Jeffry Pondaag mengatakan, negosiasi untuk menuntut ganti rugi janda korban Pembantaian Westerling sempat mandeg. Menurut Jeffry, kebuntuan tersebut akibat dari niat Pemerintah Belanda yang ingin membayar ganti rugi hanya 10 ribu Euro. 

"Itu penghinaan besar untuk Indonesia," kata Jeffry saat dihubungi, Jumat, 9 Agustus 2013. Menurut Jeffry, kebuntuan yang terjadi pada bulan April tersebut berakhir karena itikad baik dari Menteri Luar Negeri Belanda Frans Timmermans. Frans, kata Jeffry, menyatakan sangat menyesal atas Pembantaian Westerling dan berjanji untuk membicarakannya di kabinet.

Usai pembicaraan tersebut, Pemerintah Belanda menyetujui untuk menyelesaikan secepatnya kasus-kasus seperti rawagede dan Westerling. "Akhirnya, pengacara Belanda melanjutkan negosiasinya dengan pengacara kami," kata Jeffry. 

Sejak April hingga Agustus, kesepakatan yang dicapai hanya mengenai jumlah ganti rugi. Sedangkan untuk permintaan maaf, Pemerintah Belanda, masih merundingkannya. Menurut Jeffry, Frans dan Partai Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, Partai Volkpartij voor Vrijheiden Democratie masih berselisih pendapat. Frans setuju untuk meminta maaf keapda seluruh rakyat Indonesia, sedangkan Partai VVD merasa cukup meminta maaf kepada korban pembantaian.

"Seharusnya, pemerintah Belanda bangga punya menteri seperti Frans," kata Jeffry. Jeffry mengatakan, belum tahu pasti pemerintah Belanda akan meminta maaf dengan cara seperti apa. Namun Ia merasa gembira akhirnya ada menteri Belanda yang berani meneyelesaikan masalah ini.

Pada tahun 1946-1947 pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Raymon Westerling membunuh ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan. Pembunuhan tersebut terjadi selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan). Sebanyak 40 ribu warga sipil, disebut-sebut menjadi korban pada peristiwa itu.


Kekejian Pasukan Westerling
Darah pernah tumpah di Makassar dan sekitarnya. Hanya setahun -- 1946 sampai 1947 tapi perilaku beringas Westerling dan para serdadunya meninggalkan sejarah kelam bagi masyarakat Sulsel. Sebanyak 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000 . Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.

Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh' Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.

Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. 

"Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.

Westerling sendiri pernah mengakui perbuatannya itu. Pengakuan itu ia sampaikan dalam sebuah wawancara di sebuah program televisi di stasiun NCRV. "Akulah yang bertanggung jawab, bukan tentara di bawah komandoku. Aku sendiri, secara personal yang memutuskannya," kata dia dalam sebuah wawancara di tahun 1969, seperti dimuat situs Volkskrant, 14 Agustus 2012. 

Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B.) juga berencana membantu para korban menggugat pemerintah Belanda melalui pengadilan. Menurut Pondaag, apa yang terjadi pada masa agresi 1945-1949 itu adalah kekerasan struktural, bukan sekadar insiden. Ia beranggapan meskipun sudah nyaris tujuh dekade berlalu, Belanda tetap harus bertanggung jawab. (Baca: Masih Ada 76 Kasus Kejahatan Perang Belanda di Indonesia)

Ia meminta para korban agresi dan ahli waris generasi pertama mencatatkan diri ke tiga perwakilan K.U.K.B. di Indonesia dan dua perwakilannya di Eropa. Jeffry mengingatkan lembaganya bersifat nirlaba dan tak menarik bayaran sama sekali, (kontak mereka). | AT | I | Liputan6 | Tempo.co |
Share on :

0 ulasan:

Catat Ulasan

 
© Copyright Atjeh-Online 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all